Sabtu, 02 April 2011

TOKOH PENTING BETAWI

BENYAMIN SUEB



Sueb (1939 – 1995) lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut. 

Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular. Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karir musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern. 

Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia. 

Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi. 

Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu. 

Setelah Orde Lama tumbang, yang ditandai dengan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jatidirinya. Lagu seperti Si Jampang (1969) sukses di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel-Ondel (1971). 

Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Mleduk, Tukang Garem, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran. 

Terlebih setelah Bang Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.

Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia tahun 1972, Bang Ben mencari pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Koesoemawati dan berhasil merilis beberapa album, di antaranya “Nenamu” dengan tembang andalan seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru dan Pelayan Toko. 

Lewat popularitas di dunia musik, Benyamin mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Berduri serta Si Doel Anak Modern (1976) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya. Dalam Intan Berduri, Benyamin mendapatkan piala Citra sebagai Pemeran Utama Terbaik. 

Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Rock Al-Haj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. 

Benyamin yang telah empat belas kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia setelah koma beberapa hari seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung



TOKOH-TOKOH PENDIRI FBR

KH. FADLOLI EL MUHIR

 Dibantu seorang dukun (Paraji), tepat pukul 14.00 pada tanggal 15 Februari 1961, tangis seorang bayi merah memecah kesunyian siang bolong di Pulo Jahe Kawasan Jakarta Timur. Sejumlah ibu-ibu segera berbondong-bondong menuju rumah Kyai Muhir dengan sang istri Hj. Maanih yang treletak di bibir gang, yang sekarang dikenal dengan Pedaengan Cakung. Mereka seakan ingin menyambut kehadiran bayi laki-laki yang akan menambah kebahagian keluarga Kyai Muhir.

Sebagai seorang kyai, Kyai Muhir segera melantunkan adzan di telinga kanan dan kiri bayi mungil itu. Ia seakan ingin menggoreskan catatan tinta emas kepada bayi yang masih seperti kertas putih, dengan kebesaran nama Allah. Ia berharap kepada anaknya ini, jika dewasa bias menjadi khalifah (Wakil Allah) di bumi. Yang tidak saja bias memakmurkan dunia, tetapi juga bisa meletakkan karpet merah bagi setiap orang menuju kehidupan yang abadi.

Sebagai seorang Kyai yang lahir di Pulo Jahe, Kyai Muhir yang telah malang melintang menuntut ilmu dengan kalangan ulama dan kyai di sekitar Pulo Gadung dan Bekasi, memiliki tokoh idola seorang kyai besar dari Cikarang, yaitu K.H. Fadloli. Ia terkagum dengan kepandaian kyai ini dalam menguasai dan mentransfer ilmu agama dengan para santrinya. Metode yang ia terapkan untuk mendidik para santri, dirasakan sangat tepat dan menyejukkan setiap orang yang mengikuti pengajiannya. Karena kekagumannya itulah, Kyai Muhir bernadzar, bila kelak anak keenamnya ini lahir laki-laki, ia ingin member nama Fadloli. Selain sebagai bentuk penghormatan dan kekagumannya kepada K.H. Fadloli dari Cikarang, Kyai Muhir juga berharap anak bungsunya ini, kelak jika sudah dewasa bisa mewarisi kepandaian dan kepintaran ulama besar tersebut, khususnya di bidang agama. Fadloli yang lahir dan besar dalam kultur Betawi dididik dengan cara orang Betawi tempo dulu.

Begitu menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Fadloli yang kala itu menjadi anak yatim, dititipkan oleh ibunya untuk belajar di Pesantren Az-Ziyadah, Klender. Ia mendapatkan bimbingan langsung dari Al-Maqfurah Abuya K.H. A. Zayadi Muhadjir, ulama besar dikalangan Timur Jakarta. Di pesantren inilah, untuk pertama kali, Fadloli berpisah dengan ibunya dan mengenal secara langsung pendidikan pesantren yang jauh beda dengan pendidikan SD. Ia menjadi santri mukmin.

Pada tahun 1977, Fadloli meninggalkan Jakarta tempat kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan di Pesantren Bany Latif Cibeber, Cilegon, Banten. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Muhaimin Abdul Latief. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren besar di Banten. Di pesantren ini juga sering dijadikan tempat perhelatan berbagai event besar di Cilegon yang berbau keagamaan. Ketertarikan Fadloli akan pendidikan berorganisasi membuat selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pimpinan K.H. Machrus Aly. Tepatnya tahun 1999, ia mempelopori berdirinya Gerakan Santri Indonesia (GSI), dimana Fadloli ditunjuk sebagai Imam Besarnya. Gerakan santri ini untuk mempelopori : gerakan menutup aurat (Satrul Aurah) ; gerakan mempersiapkan generasi pemegang tongkat estafet perjuangan masa depan (Naibul Masyayikh) ; gerakan anti maksiat dan dosa (tarikul ma’asyi) ; dan gerakan cinta perdamaian dan kebaikan (raghib fil khairat). Pada saat berada di bangku kuliah di Universitas Assafi’iyah Jakarta setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren Lirboyo Kediri, ia bergabung dan dipilih sebagai Ketua Bidang Dakwah PB HMI Jakarta.

Ketika masih tiga partai di zaman Orde Baru, Kyai Fadloli pernah bergabung dengan PDI dibawah kepemimpinan Soeryadi. Ia memperkuat Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang kala itu diketuai oleh Dimy Haryanto dan Soegeng Saryadi, selaku Sekjen. Keterlibatannya di organisasi untuk derbouw PDI ini yang mengantarkan dirinya terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI pada umur 37. 

Paradigma Baru Dakwah.Berangkat dari suatu keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara struktural dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. Sebagai kaum yang sadar akan hak, kewajiban, peran serta dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada hari Minggu Legi, 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi, FBR lahir berdiri ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi diantaranya adalah K.H. Fadloli El Muhir, di Pondok Pesantren Yatim ”Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk bersatu dan care dalam wadah FBR. Walau FBR hanya sebuah organisasi massa lokal namun gerak langkah dan gayanya ”mendunia” karena dunia telah mengakui keberadaannya.
(sumber:www.betawirempug.com)


SEJARAH BERDIRINYA FBR

MEMPERKENALKAN FORUM BETAWI REMPUG


FORUM BETAWI REMPUG (FBR) merupakan wadah perjuangan masyarakat Betawi untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini tertindas, baik secara struktural maupun cultural. Kalau diibaratkan perempuan yang sedang hamil, maka FBR baru akan memasuki fase melahirkan. Karena FBR baru didirikan hari Minggu legi, tanggal 8 Rabiul Tsani 1422 H bertepatan dengan 29 Juli 2001 M di Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi’ien, Jl. Raya Penggilingan No.100 Pedaengan Cakung Jakarta Timur. Para penggagas dan pendiri FBR adalah tokoh-tokoh muda Betawi yang merasa prihatin dan peduli dengan nasib masyarakat dan budaya tradisional Betawi yang selama ini terpinggirkan dan dimasabodohkan oleh arogansi Kota Jakarta yang berdalih Ibu Kota Negara dalam rangka menyongsong diberlakukannya Otonomi Daerah.

Masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Kota Jakarta seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam bidang usaha, perdagangan dan perindustrian, serta pelestarian seni budayanya. Dalam kenyataannya, masyarakat Betawi dari hari ke hari semakin mengalami kesulitan dalam mendapatkan mata pencaharian yang halal dan seni budaya Betawi berangsur-angsur mulai dilupakan, termasuk oleh masyaratnya sendiri. Kehidupan sosial masyarakatnya yang santun dan agamis tercabik-cabik oleh budaya metropolitan yang individualis dan materialistis, sehingga banyak di antara generasi muda Betawi yang mengalami pengkaburan Iman dan sulit memisahkan secara tegas antara halal dan haram. Pada gilirannya mereka mulai mengenal dan mengakrabi minuman keras, narkotika dan zat adiktif lainnya. Gaya hidup mereka yang semakin konsumtif tidak dibarengi dengan etos kerja yang kuat, sehingga menimbulkan kerawanan sosial.

Sementara generasi muda lainnya yang masih memiliki etos kerja dan pendidikan yang layak berusaha mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan swasta atau instansi pemerintah, namun sering kali menemukan kekecewaan-kekecewaan. Karena budaya KKN masih sedemikian kentalnya dan opini yang selama ini terbentuk bahwa : “ Betawi malas kerja dan tidak berpendidikan ” masih mengungkung kesadaran para pengusaha dan pengambil kebijakan. Selain itu banyak tanah-tanah adat milik masyarakat Betawi yang dirampas oleh sebagian pendatang tanpa pernah ada penyelesaian yang pasti dari aparat penegak hukum.

Tambahan lagi, dalam berbagai kasus kriminal yang dilakukan oleh masyarakat pendatang seperti perampokan, pencurian dan pembunuhan terhadap masyarakat Betawi, sering mengalami jalan buntu meski sebenarnya pelakunya sudah diketahui, namun tidak lama kemudian ia dapat bebas kembali. Lebih jauh lagi, partai-partai politik hanya pandai mengu
mbar bualan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat Betawi guna mendapatkan suara pada setiap pemilu, tanpa pernah menindak lanjuti lebih jauh. Sementara LSM-LSM yang ada tidak pernah memperdulikan nasib masyarakat Betawi yang tertindas.

Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka beberapa tokoh muda Betawi menggagas dibentuknya suatu wadah yang menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi, berazaskan Islam serta berlandaskan Al-quran, Assunnah, Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian dikenal dengan nama : “ FORUM BETAWI REMPUG ” yang disingkat dengan FBR.

SEKILAS PENDIRIAN FBR

Berangkat dari suatu keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara struktural dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. Sebagai kaum yang sadar akan hak, kewajiban, peran serta dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada hari Minggu Legi, 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi, FBR lahir berdiri ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi di Pondok Pesantren Yatim ”Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk bersatu dan care dalam wadah FBR. Walau FBR hanya sebuah organisasi massa lokal namun gerak langkah dan gayanya ”mendunia” karena dunia telah mengakui keberadaannya.

TUJUAN DIDIRIKANNYA FBR

1. Membina hubungan persaudaraan yg kokoh di antara sesama masyarakat Betawi dan masyarakat lainnya demi terciptanya kehidupan yg aman, nyaman, dan damai serta bahagia dunia dan akhirat.
2. Membina hubungan kerjasama dgn pemerintah dan lainnya dlm melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial.
3. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Betawi melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan serta penyaluran kerja.
4. Meningkatkan peranan masyarakat Betawi dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Melestarikan dan mengembangkan seni budaya Betawi sebagai bagian dari kebudayaan Nasional.
6. Melaksanakan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, sesuai dgn ajaran agama.
(sumber:www.betawirempug.com)

Pakaian Adat Betawi




 Pakaian Betawi banyak ragamnya. Ada pakaian sehari-hari, ada    pula pakaian resmi. Belum lagi pakaian pengantin, laki-laki dan perempuan. Pakaian sehari-hari laki-laki Betawi biasanya baju koko atau sadariah, celana batik, kain pelekat, dan peci. Akan tetapi di daerah Betawi pinggiran pakaian ini bisa menjadi pakaian pesta.

Sementara pakaian sehari-hari perempuan Betawi berupa baju kurung berlengan pendek, kadang-kadang bersaku di depannya, kain batik sarung. Ada yang berkerudung, ada yang tidak, terutama orang pinggiran.
Pakaian yang disebut ujung serong biasa dipakai oleh bapak-bapak berupa jas tertutup dengan celana pantalon. Kain batik dikenakan di sekitar pinggang dengan ujungnya serong di atas lutut, dan selipan pisau raut. Aksesoris kuku macan dan jam saku rantai. Tutup kepala berupa liskol atau kopiah dan alas kaki sepatu pantovel. Ini pakaian demang zaman dahulu yang kini menjadi pakaian resmi adat Betawi. Pakaian "abang Jakarte" kurang lebih seperti ini. Hanya penutup kepalanya berupa liskol, tanpa kuku macan dan jam saku rantai. Sementara pakaian "none Jakarte" adalah kebaya panjang berenda (kebaya encim), kain batik corak jelamprang Pekalongan, bersanggul tidak terlalu besar (konde cepot) dan diberi hiasan tusuk konde, melati atau cempaka putih. Selendang seringkali berfungsi juga sebagai kerudung.
Pakaian pengantin Betawi mendapat pengaruh dari Arab, Cina, Barat, dan Melayu. Pakaian pengantin laki-laki biasa disebut "dandanan care haji" berupa jubah dan tutu kepala "sorban" yang disebut "alpie". Jubah dibuat longgar dan besar dengan motif hiasan flora atau burung hong, berbenang emas, manik-manik, bahan kain jubah beludru, warna cerah. Jubah dalam disebut "gamis" berupa kain putih halus model kurung panjang, terbuka dari leher ke uluhati. Ukurannya lebih panjang dari jubah luas sebatas matakaki. Perlengkapan lain berupa selendang bermotif benang emas atu manik berwarna cerah. Tak ketinggalan, sepatu pantovel.

Sementara pakaian pengantin perempuan biasa disebut "rias besar dandanan care none pengantin cine". Pengaruh Cina sangat menonjol pada model, nama kelengkapan dan motif hiasannnya. Bajunya model blus Shanghai bahan saten atau lame berwarna cerah. Baju bawah atau rok disebut "kun" melebar ke bawah dengan motif hiasan burung hong dari mute atau manik dan benang emas. Warna kun biasanya gelap, merah hati atau hitam. Hiasan kepalanya disebut kembang goyang motif burung hong dengan sanggul buatan dan cadar di wajah. Perhiasan lain berupa gelang listring, kalung tebar, anting kerabu, hisasn dada teratai manik-manik dan selop model perahu. Hiasan lain adalah bunga melati berupa roje melati dan sisir melati.


Batik

Batik yang disenangi di Betawi adalah corak pesisiran, seperti Pekalongan, Lasem, Cirebon dengan warna-warna yang mencolok. Sementara motif-motif batik yang disukai adalah jamblang, babaran kalengan, dan jelamprang. Motifnya antara lain terdiri dari garis segitiga panjang melancip, ujungnya yang melancip disambungkan dengan ujung segitiga panjang lainnya. Jenis batik ini biasa dipakai oleh perempuan yang menghadiri pesta pernikahan atau para penari cokek. Jenis batik ini juga disukai perempuan-perempuan Belanda di Batavia.

Sebagaimana masyarakat pesisir lainnya, perempuan Betawi menyukai batik berwarna cerah mencolok, bukan sogan, dengan kepala atau tumpal bermotif geometris, antara lain berbentuk segitiga, yang dalam istilah setempat disebut sebagai "mancungan". Di daerah pinggiran Jakarta motif seperti itu disebut "pucuk rebung". Motig burung funiks atau burung hong (feng huang) pada batik juga banyak disenangi perempuan-perempuan Cina Betawi (encim). Burung funiks memberikan kesan gemulai dan menambah wibawa bagi pemakainya.
(sumber : wisatapesisir.com)